Skip to content

Bukan Resep yang Berubah, Tapi….

  • Blog

Ada sebuah rumah makan yang jadi langganan saya dan teman-teman saat kuliah dulu. Rasanya enak dan yang pasti porsinya banyak. Warung ini selalu ramai pembeli, sejak buka hingga tutup lapak. Motor-motor pelanggan berjajar, bahkan hingga ada yang parkir di seberang jalan, supaya tidak menghalangi kendaraan yang lewat. Sampai sekarang, saat saya lewat di depan warung itu, masih saja ramai pembeli.

Tak hanya di hari biasa. Saat bulan puasa, warung ini pasti diserbu pelanggan yang berburu menu buka puasa dan bahkan dipenuhi orang lagi di waktu sahur. Pindah jam buka dengan jumlah pelanggan yang tetap ramai.  Maka, ketika saya berkunjung ke rumah teman yang lokasinya melewati rumah makan itu, saya ingin bernostalgia dengan masa lalu. Saya mampir ke sana untuk membeli menu dengan lauk yang biasa saya beli dulu.

Saya tidak makan di tempat karena hampir semua meja dipenuhi pelanggan yang sedang makan. Membuat ruangan tak nyaman dan terasa panas. Ketika mahasiswa dulu pun, saya juga jarang makan di tempat. Saya lebih sering membawa pulang dan makan di kos bersama teman-teman yang lain.

Di rumah teman, dengan hati bahagia saya mulai makan. Aneh. Rasa masakannya terasa lain, berbeda dengan yang ada dalam kenangan saya. Melihat saya mengernyitkan kening, teman saya bertanya. “Ada apa?”.

“Masakannya sudah berubah, kok nggak seenak dulu ya,” jawab saya.

“Ah, masak berubah?. Pelanggannya masih banyak banget lho,”.

Kami meneruskan makan sambil masih membicarakan soal cita rasa masakan. Makanan enak, seharusnya tidak lekang oleh zaman. Dari 15 tahun lalu sampai sekarang, harusnya ya tetap enak. Lalu saya teringat sebuah tulisan yang pernah dishare via WhatsApp. Saya lupa tentang tokoh siapa (kalau tidak salah pengalaman Andi F Noya, tapi jika ingatan saya salah, maafkaaan), pengalamannya sama dengan apa yang saya rasakan.

Ia merasa soto paling enak di dekat kampusnya berubah hambar. Tak selezat dulu. Namun ia lalu menyadari, bukan karena bumbu soto itu yang berubah dan dikurangi sehingga tidak lagi lezat, tapi ia sendirilah yang berubah. Semenjak lulus kuliah, ia sudah mengecap banyak makanan bervariasi, termasuk mungkin soto yang lebih enak dari soto dekat kampusnya. Standar enak di lidahnya pun berubah. Warung soto itu tetap menyajikan soto enak dan lezat menurut pelanggannya sekarang, buktinya warung tetap ramai. Warung langganan saya juga masih sangat ramai pembeli, hehehe.

Seiring berjalannya waktu, standar yang kita tetapkan berubah. Perubahan ini bukan sesuatu yang negatif. Karena setiap orang pasti akan melewati proses ini. Saya, Anda, atau mahasiswa-mahasiswa pelanggan warung itu sekarang. Kita, tidak hanya mengalami perubahan soal rasa makanan, tapi bisa juga tentang hal lain.  Style pakaian, tempat nongkrong, tempat belanja, dan lainnya.

Bukan resepnya yang berubah, tapi kita sekarang yang telah berubah dan bertumbuh. Setelah melalui perjalanan berliku dan merasakan ratusan pengalaman membuat standar rasa kita berbeda. Seperti perubahan selera makanan tadi, saya melihat perubahan ini bukan sesuatu yang negatif, malah sebaliknya adalah hal positif. Perubahan menunjukkan bahwa kita terus bergerak, tidak diam. Bahwa kita merespon tuntutan zaman. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *