KH Basori Alwi, pendiri Pesanren Ilmu Al-Quran (PIQ) ini adalah ulama yang memiliki semangat tinggi dalam mengajar. Alhamdulillah, saya dan teman-teman pernah bersilaturahim dengan beliau sebelum wafat. Jika tidak salah, kala itu Kiai Basori Alwi memasuki usia 88 tahun. Di usia yang sangat sepuh, Kiai Basori tetap rutin mengisi pengajian yang sudah dijalaninya sejak berpuluh tahun serta masih mau men-tashih (membetulkan atau membenarkan) bacaan Alquran dari para santrinya.
Kala itu, salah satu pengajian rutin yang diisi oleh KH Basori Alwi adalah pengajian Sabtu malam sehabis maghrib di Masjid Agung Jami Kota Malang. Meski harus datang dengan kursi roda, Kiai Basori tetap menyapa jamaah pengajian dengan keramahannya yang khas. Kiai kelahiran Singosari 15 April 1927 ini memang terkenal sebagai ustadz yang sangat sabar dalam menghadapi santri-santrinya termasuk mereka yang bandel. Saat ustadz dan guru zaman dulu biasa menghukum muridnya dengan rotan atau pemukul lain, Kiai Basori memilih untuk menasihati mereka dengan lemah lembut. Tidak heran jika ia pun berlaku ramah kepada jamaahnya.
Sedangkan untuk tashih, Kiai Basori tidak hanya men-tashih bacaan Alquran santri-santrinya di PIQ tapi juga mereka yang sengaja datang untuk berguru langsung kepadanya. Bersamaan dengan sowan saya dan teman-teman saat itu, hadir juga anggota Takmir Masjid Agung Jami Kota Malang yang menunggu bertemu Kiai Basori untuk tashih.
Saya waktu itu bertemu KH Basori Awli di ruang tamu khusus di lantai dua gedung PIQ. Dengan suaranya yang lembut dan jernih, Kiai Basori menjawab semua pertanyaan dan secara gamblang dengan bantuan mic supaya tidak perlu meninggikan suara ketika berbincang dengan kami. Beliau menceritakan pengalaman masa remajanya, masa-masa ketika berguru kepada banyak Kiai di masa itu, hingga sejarah pendirian PIQ yang saat ini menjadi ikon kebanggaan Singosari dan Malang Raya.
“Saya sudah lupa tahun pasti dari beberapa peristiwa yang saya ceritakan ini. Memang kondisi sekarang berbeda dengan dulu,” kata Kiai Basori merujuk pada usianya yang memang sudah sepuh.
Gemar Menulis Sejak Muda
Untuk melengkapi perbincangan, ayah 11 anak itu memberikan beberapa buku, dari biografi dirinya yang diterbitkan pada 2007, buku-buku kecil hasil tulisannya sendiri hingga Madarij Ad-Duruus Al-Arabiyah, buku pelajaran Bahasa Arab yang juga karya sang Kiai. Khusus buku pelajaran Bahasa Arab ini, Kiai Basori memiliki cerita tersendiri. Buku itu merupakan hasil rangkuman saat ia belajar Bahasa Arab ketika mondok di Ponpes Salafiyah Solo. Kala itu, ia masih berusia belasan tahun dan memutuskan untuk berkhidmat kepada KH Dimyati, pengasuh pondok, dengan selalu membersihkan kamar dan sekolah setiap pagi, tanpa diminta. KH Dimyati, menurut Kiai Basori, memiliki toko buku dan ia sering berada di toko tersebut untuk membaca dan belajar dari buku-buku yang ada di sana.
“Kepada beliau juga saya belajar Bahasa Arab. Nah, ketika belajar ini, saya seringkali menyusun mufrodat (kosa kata, red) sesuai kelompok-kelompoknya,” tutur Kiai Basori.
Ia mencontohkan, mufrodat untuk ruang tamu berarti berisi kursi, meja dan semua hal yang ada di sana, atau mufrodat untuk kelompok dapur berisi piring, gelas, sendok, garpu dan perkakas memasak lain. “Pengelompokan kata sesuai dengan tema ini memudahkan pemula dalam mempelajari Bahasa Arab,” lanjutnya.
Kebiasaan mencatat mufrodat tetap berlanjut ketika Kiai Basori diminta oleh NU untuk mengajar di Madrasah Al Ma’arif. Ia selalu mendokumentasikan bahan mengajar dengan sistematis, mulai dari materi sesuai tematik atau pengelompokan mufrodat sampai soal-soal latihan Bahasa Arab, lalu mengumpulkannya menjadi satu menjadi buku Madarij Ad-Duruus Al-Arabiyah.
Buku itu disusun sekitar tahun 1950 saat usianya masih 23 tahun. Di usia sangat muda, Kiai Basori sudah memiliki karya buku sendiri. Kemampuan dan sebuah prestasi yang tak banyak dimiliki oleh pengajar, atau bahkan Kiai lain sekalipun. Kebiasaan menulis itu diteruskan Kiai Basori hingga usia sepuh. Saat tak lagi mampu menulis sendiri, Kiai Basori biasanya meminta kepada santri yang mengawalnya untuk mencatat ide dan pemikirannya tentang sesuatu.
“Kalau sudah ada ide, saya biasanya meminta dicatat saat itu juga, supaya besoknya tidak lupa,” ujar Kiai Basori.
Sementara itu, karena minimnya buku pedoman pembelajaran Bahasa Arab di tahun 50-an, Madarij Ad-Duruus Al-Arabiyah pun banyak digunakan oleh pesantren dan madrasah dalam proses pembelajaran kepada santri dan siswa. Sejak masa itu hingga wafat, Kiai Basori seringkali menyisipkan pembelajaran Bahasa Arab dalam setiap momen pengajarannya. Atas dedikasi dan konsistensinya dalam pembelajaran Bahasa Arab, KH Basori Alwi termasuk salah satu dari tujuh tokoh di Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Arab Saudi melalui King Abdullah Bin Abdul Aziz International Center for Arabic Language, November pada tahun 2014. Saya dulu punya fotonya, tapi entah di mana foto itu sekarang.
Tulisan dan buku karya Kiai Basori tidak hanya tentang Bahasa Arab, namun ada banyak topik lain yang menunjukkan luasnya ilmu Sang Kiai yang juga sering disebut sebagai Guru Quran itu.(*)