KH Basori Alwi memang guru sejati, ia tak pernah merasa bosan membagikan ilmu kepada siapapun. Itu tak lepas dari falsafah hidupnya ‘Likulli syai’in zakatun wa zakaatul ‘ilmi at ta’liim’, segala sesuatu itu ada zakatnya dan zakat ilmu adalah mengajar. Saya menuliskan kembali hasil perbincangan dengan Kiai Basori, lima tahun sebelum beliau wafat.
Falsafah tersebut sebenarnya adalah pesan yang disampaikan oleh KH Dimyati pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Solo, namun karena sangat membekas dan terkesan, pemilik nama lengkap Muhammad Basori Alwi Murtadlo ini menjadikannya falsafah hidup. Dari segi bahasa, zakat berarti suci, mulia, berkah, tumbuh dan bertambah. Karena itu, siapapun yang mengeluarkan zakat untuk hartanya tidak akan pernah kekurangan karena apa yang dimiliki akan terus bertambah, begitu juga dengan ilmu. Saat diamalkan melalui mengajar, akan membuat ilmu terus bertambah dan berkembang.
Karena itulah, Kiai Basori muda terus bersemangat mengajar setiap hari, kesana kemari. Tidak hanya di Malang tapi juga mendatangi undangan pengajian ke beberapa daerah. Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Surabaya, Probolinggo, hingga Banyuwanyi disambangi Kiai Basori untuk menebar ilmu Alquran, Fiqih, Bahasa Arab ataupun Tafsir. Bisa dikatakan, hidup Kiai Basori lebih banyak dihabiskan di luar rumah.
Meski cinta mengajar, namun tak pernah terpikir di benaknya untuk mendirikan pesantren. Bahkan ketika suatu pagi di hari Jumat, usai pengajian Kitab Bidayah al-Hidayah yang diasuhnya secara rutin, sang ayah Kiai Alwi Murtadlo mengajaknya jalan-jalan dan berhenti di pekarangan belakang lalu berkata “Rumah ini kalau dijadikan pondok, hebat Mad”. Kiai Basori meresponnya dengan diam.
“Ya saya diam saja, sambil berpikir bagaimana caranya membangun pesantren. Yang tentu saja tidak mudah,” kisah Kiai Basori.
Namun Allah SWT memang sudah menakdirkan Kiai Basori untuk mendirikan pesantren, walaupun dimulai dengan memberinya ‘sakit’ terlebih dahulu. Akibat terlalu capek mengajar dan bepergian untuk mengisi pengajian, Kiai Basori sempat terkena penyakit kuning dan disarankan dokter untuk berhenti mengajar paling tidak selama setahun. Kiai Basori memang menuruti anjuran tersebut, namun semangatnya untuk mengajar tak bisa pupus, ia tak tahan libur panjang, sehingga membuka pengajian di bekas rumah Kiai Alwi di Jalan Kristalan Singosari. Kiai Basori tak perlu pergi jauh namun tetap bisa menularkan ilmu.
Suatu hari, ia kedatangan tamu pria usia lanjut dengan anaknya yang masih belasan tahun. Rupanya, tamu tersebut ingin memondokkan anaknya di rumah Kiai Basori.
“Njenengan mau memondokkan anak di sini? Saya ndak punya tempat,” begitu jawaban singkat Kiai Basori yang juga memiliki arti penolakan.
Namun tamu tersebut keukeuh, dia tetap meminta sang Kiai untuk mendidik anaknya mengaji, meski ditempatkan di manapun.
“Bismillah, akhirnya saya terima santri yang datang jauh-jauh dari Banyuwangi itu. Namanya Rozikin,” ujar Kiai Basori.
Sesudah itu, ternyata ada tamu lagi dari Sumber Pasir Malang yang juga ingin mondok di rumahnya. Namanya Ridwan Barmawi. “Dua orang inilah yang santri pertama saya,” terang Kiai Basori.
Setahun semenjak kedatangan mereka, Kiai Basori mulai memikirkan untuk membangun kamar seadanya di salah satu sudut pekarangan rumahnya sebagai tempat santri untuk tinggal dan tidur dengan nyaman. Akhirnya, 1 Mei 1978 pun ditahbiskan sebagai peresmian pesantren yang diberi nama Ma’had ad-Dirosah Al-Quraniyah ini, yang di-Indonesiakan menjadi Pesantren Ilmu Al-Quran dan kemudian populer dengan singkatan PIQ. Sejak saat itu, satu per satu santri berdatangan hingga mencapai 10, lalu 35 orang di tahun berikutnya dan terus meningkat mencapai ratusan.
Ada cerita menarik sebelum Kiai Basori mendirikan PIQ. Ia yang memang seringkali mengaji dan sowan ke Kiai Hamid Pasuruan, memutuskan untuk datang dan meminta doa kepada Kiai yang terkenal dengan kewaliannya itu. Setibanya di sana, ternyata Kiai Hamid sudah menunggu di bawah pohon mangga di depan rumahnya, seakan tahu Kiai Basori muda akan datang ke sana.
Pengalaman itu begitu melekat di benak Kiai Basori, sehingga dia pun masih dapat mengisahkannya dengan jelas kepada kami.
“Assalamualaikum,” sapa Kiai Basori kepada Kiai Hamid.
“Waalaikumsalam Ya Syaikh Basori,” jawab Kiai Hamid.
Kiai Basori cukup kaget dengan respons tersebut, sebab sebelumnya Kiai Hamid tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Syaikh. Tak berhenti sampai di situ, tanpa basa basi dan menunggu kalimat Kiai Basori selanjutnya, Kiai Hamid langsung bertanya: “Berapa hektar pondok’e?”.
Pertanyaan itu tentu saja membuat Kiai Basori kaget. Dia belum menyampaikan rencana untuk membangun pondok, tapi Kiai Hamid sudah tahu lebih dulu. Wak itu, Kiai Basori sudah tahu kisah Kiai Hamid yang dianugerahi kelebihan untuk bisa tahu kejadian sebelum peristiwa itu terjadi, tapi mengalaminya langsung tetap membuatnya kaget dan tersipu. Sebab, tanah yang akan dibangun pondok tidaklah luas.
“Namung tigangatus (hanya tiga ratus) meter Kiai,” jawab Kiai Basori.
Kiai Hamid lalu mengajak Kiai Basori dan jamaah lain yang saat itu berada di sana untuk berdoa. Doa yang diucapkannya singkat yaitu “Lin-naf’i wal-qabuul wal-jamaal wal-kamaal, Al Faatihah” yang artinya untuk manfaat, diterima, indah dan sempurna laku ditutup bacaan fatihah.
“Walaupun singkat, doa itu sangat membekas di hati saya, dan semoga begitu juga keberadaan PIQ di masyarakat,” tandas Kiai Basori.(*)