“I love Malang and I’ll be back to Malang if I have a chance to visit Indonesia next time,” kata Syekh Iyad Abu Rabi’ (12 Juni, 2016). Entahlah, apakah dia mempunyai kesempatan untuk kembali lagi ke Indonesia sesudah saat itu. Di manapun posisi Syekh Iyad saat ini, semoga Allah selalu melindunginya.
Malang memang selalu membuat tamu-tamu dari Timur Tengah senang dan betah. Kotanya kecil, ramai tapi tidak terlalu crowded, udaranya memang sudah tidak sedingin dulu tapi juga tidak sepanas Surabaya atau daerah lain di Jawa Timur. Menyenangkan.
Biasanya, tamu dari negara-negara Timur Tengah ini selalu diajak oleh host mereka (entah dari perguruan tinggi atau institusi lain) untuk refreshing ke Batu. Salah satu tujuan favorit adalah Coban Rondo. Air terjun setinggi 84 meter dari sumber mata air Cemoro Dudo ini selalu membuat wong Arab berdecak kagum. Memandang dengan mata berbinar sembari memujitidak henti.
“Ini bagaikan wujud nyata dari Jannatu ‘adnin tajri min tahtiha al-anharu, bagaikan surga dengan sungai yang mengalir di bawahnya” kata mereka saat melihat air yang sesudah terjun itu, mengalir ke sungai kecil yang kanan kirinya penuh dengan hijaunya tanaman. Terdengar lebay? ya, dari kaca mata kita yang menganggap air terjun adalah hal biasa. Memang bagus, tapi ya nggak segitunya memberikan pujian. Namun bagi mereka yang sehari-hari hidup di tanah gersang berbatu, melihat air ruah mengalir dengan pohon-pohon hijau di sekelilingnya, adalah pemandangan luar biasa mahal. “A million dollar view!.
Begitu juga dengan Syekh Iyad Abu Rabi’ yang diajak ke Coban Rondo dan seperti pendahulunya, menyukai tempat wisata itu. Tidak banyak sebenarnya yang sempat kami bicarakan selama kunjungan yang singkat itu. Imam dan Khatib yang saat saya bertemu berusia 34 tahun (berarti sekarang berusia sekitar 41 tahun) menceritakan bagaimana kondisi terkini Palestina, yang sebagian besar hampir sama dengan yang kita baca dan dengar di media massa. Konflik tak kunjung usai di jalur Gaza.
Tapi, pria yang juga hafidz 30 juz itu tidak hanya menceritakan kondisi Palestina dengan masyarakat miskinnya, tapi juga hal positif dan menyenangkan lain. “Memang banyak yang menderita dan hidup kekurangan, tapi di sana juga ada warga kaya. Di kota, di daerah yang lebih aman, para wanitanya juga mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan berkarier,” urainya.
Saat itu, Syekh Iyad Abu Rabi’ berkeliling menjadi imam di masjid-masjid di Malang. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin saya lontarkan, tapi karena ketatnya jadwal kami masing-masing, kami harus menyudahi obrolan itu.
Melihat kondisi di Jalur Gaza saat ini, saya teringat pertemuan dengan Syekh Iyad itu. Mengingat bagaimana kalimat-kalimat yang disampaikan tetap terdengar optimis di tengah perang yang sampai saat ini pun masih terjadi dan menyebabkan ribuan warga sipil Palestina syahid dalam perang.(*)